WELL COME...


widgets

Kamis, 24 Januari 2013

Gunung api "Peut Sagoe" dan Upaya Mitigasi

Beberapa tahun yang lalu, Tim Ekspedisi Gunungapi Peut Sagoe dari Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Prov. Aceh bersama instansi terkait lainnya melakukan ekspedisi dalam rangka pemasangan alat seismometer dan pengecekan kondisi terbaru Gunungapi Peut Sagoe yang ada di Kab. Pidie Provinsi Aceh. Salah satu anggota Tim Ekspedisi yang terlibat adalah saudara Zulfakriza, S.Si, MT yang pada saat itu beliau Staf Subdin Geologi dan Sumberdaya Mineral Distamben Aceh namun saat ini beliau sudah menjadi staf BPBA (Badan Penanggulangan Bencana Aceh) dan kandidat Doktor di GREAT ITB-Bandung. Pada kesempatan ini beliau akan berbagi tulisannya terkait Gunungapi Peut Sangoe dan Upaya Mitigasi, selamat membaca tulisan beliau dan semoga bermanfaat.


Secara geografis terletak pada 40 55,5’ LU dan 960 20’ BT termasuk dalam wilayah Kabupaten Pidie. Bentuk dan struktur vulkanik termasuk gunungapi muda (kwarter) tipe strato, merupakan salah satu gunungapi yang digolongkan masih aktif pada tipe stadia A (Van Padang, 1951). Gunung Peut Sagoe merupakan gunungapi yang diartikan mengandung “empat puncak/ gunungapi” tiga puncak terletak pada garis lurus berarah Utara – Selatan, dengan puncak di Selatan merupakan puncak yang tertinggi (2780 m). Puncak yang terletak di sebelah Timurlaut dicirikan sebagai pusat aktiva yang masih aktif. Pada daerah bagian Timur puncak keempat terbentuk kawah yang agak membulat berdiameter 100 m dengan kedalaman 50 m.

Berdasarkan data dasar Gunungapi Indonesia, Direktorat Vulkanologi, K. Kusumadinata 1979 menetapkan Peuet Sagoe  di Wilayah Kabupaten Pidie, adalah Gunungapi Aktif, Tipe Stato .Sejak 1918, Peuet Sagoe enampakkan aktifitasnya dan pada Tgl 25 September 1919, tapak asap putih mengepul di bagian Puncak Barat. Pada Bulan Mei tahun 1920 telah  terjadi letusan dengan mengeluarkan asap dan semburan api. Dan pada  Tgl 22 Mei 1920, terjadi hujan abu tebal dan gumpalan asap tebal dan suara geuruh. Nampak dari sebelah utara adanya perubahan bentuk puncak. Pada bulan Desember 1924 dilaporkan oleh Numan Van Padang adanya aktivitas Vulkanik berupa lima asap hitam berbentuk tiang dan disertai suara ledakan letusan . Pada Tgl 10 Februari1979 dilaporkan oleh Pemda Kab Pidie adanya semburan api dan suara gemuruh.


Dan berdasarkan pemberitaan Surat Kabar Harian Serambi Indonesia edisi Selasa 10 April 2007, diisukan Gunungapi Peuet Sagoe meletus, sehingga terjadi pengungsian pada malam hari jam 23.00 dari  5 desa , dan menimbulkan kepanikan warga hingga pagi hari. Untuk mengantipasi hal-hal seperti itu tidak bakal terjadi, maka perlu dilakukan upaya mitigasi. Seperti pemasangan alat sesmograf di pos pengamatan dan juga kegiatan pengamatan lansung aktivitas gunung api secara berkala.

Untuk mencapai kaki gunung api Peut Sagoe harus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki lebih kurang 4 malam 5 hari. Jalan kaki dimulai dari desa terakhir yaitu pemukiman transmigrasi (SP 5) yang jaraknya lebih kurang 10 km dari pusat Kecamatan Gempang.

Upaya Mitigasi Bencana Gunungapi

Penyajian dan penyebarluasan informasi gunung api diarahkan untuk dua tujuan penting yaitu ; pemanfaatan potensi gunung api dan mitigasi bencana gunung api secara optimal. Keduanya adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan yang diperoleh dari hasil pengamatan, penyelidikan, penelitian  dan kajian para ahli yang kemudian direkomendasikan ke masing-masing pihak yang terkait. Rekomendasi aspek kebencanaan gunungapi antara lain berupa Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB). Peta KRB sudah semestinya diadopsi oleh setiap instansi terkait dan dituangkan dalam rencana Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk daerah yang rawan akan bencana gunung api Peut Sagoe. Penyebarluasan informasi dapat dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk media massa. Hal ini diperlukan guna penataan terhadap RTRW tersebut sehingga dapat diperoleh manfaat dan berkurangnya dampak akan resiko korban jiwa dan harta benda saat terjadi letusan gunung api.
Khususnya aspek mitigasi bencana gunung api, penyajian dan penyebarluasan informasi ditujukan untuk meraih keberhasilan dalam upaya tersebut. Mengingat salah satu cakupan mitigasi adalah tindakan-tindakan yang bersifat terus menerus guna mengurangi atau bahkan menghilangkan resiko bencana sepanjang waktu, maka penyajian dan penyebarluasan informasi tentang gunung api harus difokuskan pada tindakan-tindakan yang harus dilakukan agar bahaya letusan gunung api tidak berkembang menjadi sebuah bencana. Informasi tentang mitigasi bencana gunung api bisa dibuat atau dirancang dalam bentuk booklet atau buku kecil. Dengan buku kecil ini akan mudah untuk disebarluaskan dan dapat menjangkau semua lapisan masyarakat dan juga media massa.
Buku kecil ”gunung api” yang memuat langkah-langkah mitigasi bencana letusan gunung api dalam bahasa yan populer, mencakup mitigasi sebelum terjadi letusan, saat terjadi letusan, dan sesudah letusan. Sebelum terjadinya  letusan langkah-langkah yang perlu dilakukan antara lain; 1. pemantauan dan pengamatan pada gunung api yang aktif, 2. pembuatan dan penyediaan peta Kawasan Rawan Bencana dan peta Zona Resiko Bahaya Gunung Api yang didukung dengan peta geologi gunung api Peut Sagoe, 3. melaksanakan prosedur tetap penanggulangan bencana letusan gunung api, 4. melakukan pembimbingan dan pemberian informasi tentang gunung api Peut Sagoe, 5. penyelidikan dan penelitian geologi, geofisika dan geokimia di gunung api Peut Sagoe, 6. melakukan peningkatan sumber daya manusia dan pendukungnya seperti peningkatan sarana dan prasarananya. Saat terjadinya letusan, usaha yang dilakukan adalah; a. membentuk tim gerak cepat, b. meningkatkan pemantauan dan pengamatan dengan didukung oleh penambahan peralatan yang lebih memadai, c. meningkatkan pelaporan dan frekuensi pelaporan sesuai kebutuhan dan, d. Memberikan rekomendasi kepada Pemarintah Kabupaten Pidie sesuai prosedur. Adapun setelah terjadi letusan, langkah mitigasi itu antara lain adalah; i) menginventarisir data, mencakup sebaran dan volume hasil letusan, ii) mengidentifikasi daerah yang terancam bahaya, iii) memberikan saran penanggulangan bahaya, iv) memberikan penataan kawasan jangka pendek dan jangka panjang, v) memperbaiki fasilitas pemantau yang rusak, vi) menurunkan status kegiatan, bila keadaan sudah menurun, dan vii) melanjutkan pemantauan rutin.
Untuk konsumsi media internet, penyajian informasi mitigasi bencana letusan gunung api akan berbeda penyajiannya dengan buku kecil gunung api. Atau alternatif lain dapat juga ditempuh, yaitu menyediakan dua jenis penyajian informasi yaitu satu untuk pelayanan kepada pihak peneliti dan penyelidik atau kalangan terdidik, dan yang lain ditujukan untuk para guru, pelajar dan masyarakat umum lainnya.

Keberhasilan mitigasi bencana sangat bergantung kepada ketersediaan informasi tentang aktivitas sumber bencana, dalam hal ini gunung api Peut Sagoe. Makna informasi disini adalah pengetahuan mengenai karakter, perilaku dan sejarah letusan gunung api guna keperluan prediksi waktu terjadinya letusan, jenis bahaya yang akan ditimbulkan dan jenis bahaya yang akan ditimbulkan dan daerah-daerah yang potensial terkena bahaya letusan gunung api Peut Sagoe. Dalam kaitan informasi untuk mitigasi bencana, dua hal menjadi penting, yaitu; database dan ketersediaan sumber-sumber informasi berikut kinerjanya yang optimal. Keduanya bertumpu pada konsep penyelidikan (metoda) dan pengembangan teknologi kegunungapian.

Antara informasi, metoda dan teknologi tidak dapat dipisahkan kesalingterikatannya. Informasi diperoleh dari pengolahan dan analisi akurat terhadap sejumlah data (database). Database dihasilkan antara lain dari kontribusi metoda. Penyelidikan atau pemantauan berkaitan erat dengan karakteristik objek yang diselidiki dan dipantau. Untuk itu diperlukan informasi dan konsep, strategi dan cara pelaksanaannya berdasarkan ilmu pengetahuan (metoda). Kajian aplikasi metoda memerlukan analisis yang akurat dan dapat diuji untuk memperoleh parameter tambahan (informasi) yang berguna untuk pemantauan. Sebagai muaranya, parameter tambahan yang telah teruji akan digunakan sebagai alat prediksi. Adapun pengembangan teknologi berkaitan dengan penyediaan hardware dan software untuk menunjang kegiatan pengembangan metoda. Sebaliknya, pengembangan metoda diarahkan untuk mempermudah perolehan data penyelidikan dengan bantuan teknologi. Dalam kaitannya dengan  teknologi, khususnya di Indonesia, informasi dan metoda diarahkan untuk memperoleh kemampuan penguasaan teknologi yang telah dipakai yang umumnya produk luar negeri, dan mampu membuat suku cadang serta menciptakan peralatan baru sesuai dengan kondisi terutama dalam hal kemudahan memperoleh komponen dengan biaya yan murah.

Demikian rangkaian kesalingterikatan antara informasi – metoda – pengembangan teknologi. Kesemuanya ditujukan untuk memperbaiki kinerja mitigasi bencana, dalam hal ini bencana letusan gunung api.

Penyusunan informasi tentang prekursor erupsi G. Merapi sebagai contoh, sangat memerlukan data dan informasi yang komprehensif tentang gejala letusan gunung api tersebut dari waktu ke waktu. Karena itu, sumber-sumber data pertama tentang gunung api mutlak perlu diperhatikan ketersediaan dan operasionalnya. Sumber-sumber data dan informasi pertama itu antara lain pos pengamat gunung api, program dan kegiatan pengamatan gunung api yang teratur.



Sumber: ibnurusydy.com


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar